Dengan disahkannya Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2017 tentang Arsitek, maka profesi arsitek di Indonesia kini naik kasta layaknya profesi lain yang terlebih dahulu diatur legalitas nya dalam undang-undang seperti halnya dokter dan pengacara. Dalam UU tersebut, arsitek didefinisikan sebagai seseorang yang berprofesi di bidang Arsitektur dan memiliki Surat Tanda Registrasi Arsitek (STRA).
Untuk memiliki STRA ini, setiap lulusan sekolah arsitektur perlu melaui proses magang selama 2 tahun dan dilanjutkan dengan mengikuti uji kompetensi. Setelah semua proses itu dilalui baru mereka bisa membuka praktik atau berprofesi sebagai arsitek secara legal. Tentu saja dengan peraturan perundang-undangan ini, maka mal-praktik dalam keprofesian arsitektur bisa dikurangi.
Namun demikian ada 2 kriteria bangunan yang boleh dirancang oleh arsitek tanpa harus memiliki STRA, yaitu bangunan sederhana dan bangunan adat, seperti penjelasan yang termaktub dalam UU Arsitek tersebut:
Yang dimaksud dengan “bangunan gedung sederhana” adalah bangunan gedung dengan karakter sederhana dan memiliki kompleksitas dan teknologi sederhana dan/atau bangunan gedung yang sudah ada desain prototipenya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan dalam bidang bangunan gedung.
Yang dimaksud dengan “bangunan gedung adat” adalah bangunan gedung yang didirikan berdasarkan kaidah-kaidah adat atau tradisi masyarakat sesuai dengan budayanya, misalnya bangunan rumah panjang dan rumah gadang.
Saya masih belum mendapatkan peraturan tentang kriteria bagunan sederhana yang dimaksud dalam UU tersebut. Misalnya berapa maksimal jumlah lantai, luas lantai, jenis struktur, dan lain sebagainya. Tunggu saja, saya akan update secepatnya.